Tuesday, May 7, 2013

Pancasila di Zaman Orba Alat Negara Menindas Rakyat

Pemerintah Orde Baru mengeluarkan UU No 8 tahun 1985 mengenai pengaturan Pancasila sebagai anggaran dasar organisasi-organisasi kemasyarakatan.

Runtuhnya rezim Orde Baru disambut gembira oleh kalangan Islam saat itu. Mereka berharap Soeharto memberi harapan bagi umat Islam setelah sebelumnya Soekarno menekan kehidupan kaum Muslim, di antaranya membubarkan Masyumi. Namun harapan itu sekadar harapan, tanpa ada kenyataan.
Di awal pemerintahannya, Soeharto ternyata menunjukkan sikap antipati terhadap kalangan Islam dan mulai merangkul kalangan sosialis. Pemerintah Orde Baru menjuluki PKI sebagai “ekstrim kiri” dan Islam mendapatkan julukan “ekstrim kanan”. Berbagai sumber menyatakan, sikap Soeharto ini merupakan perwujudan dari paranoia terhadap ancaman kekuatan Islam terhadap kekuasaannya.
Maka dari itu, Soeharto bersikap represif otoriter terhadap rakyatnya. Puncaknya ketika Sidang Umum MPR 1978 menetapkan berlakunya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) bagi seluruh rakyat. Tak cukup itu, pemerintah dan DPR mengeluarkan UU No. 3 tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya yang menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Tak cukup sampai di situ, selanjutnya pemerintah Orde Baru mengeluarkan UU No 8 tahun 1985 mengenai pengaturan Pancasila sebagai anggaran dasar organisasi-organisasi kemasyarakatan. Kebijakan Pemerintah tersebut mendatangkan polemik di berbagai ormas Islam karena Presiden Soeharto menawarkan tiga konsep penerapan Pancasila, yaitu: 1) Pribadi Pancasila; 2) Masyarakat Pancasila; dan 3) Negara Pancasila.
Tafsir Pancasila ala Soeharto ini kemudian mau tidak mau harus diikuti. Tidak boleh ada yang menolak. Mereka yang bertolak belakang dengan pemerintah dalam hal ini sudah disiapkan tudingan baru sebagai ‘subversif’. Penjara sebagai tempat mendekamnya.
Sudah banyak korbannya. Aktivis dakwah menjadi sasaran. Tokoh seperti Imaduddin Abdurrahim di ITB Bandung ditangkap pada 1978 karena ceramahnya dianggap subversif dan menentang Pancasila. Ia kemudian dibebaskan karena tuduhannya tidak jelas.
Sebelumnya Ismail Sunny, tokoh yang kemudian masuk ke ICMI pada 1990, ditangkap pada 1977 dan 1978. Ia ditangkap karena ceramah-ceramahnya di kampus dianggap keras dan melawan ideologi negara. Banyak dai kampus lainnya yang ditangkap ketika itu. Dan pemerintah menerapkan NKK/BKK di kampus untuk mengontrol aktivitas gerak mahasiswa.
Di tahun 1984, sebelum kasus Tanjung Priok meletus, penangkapan demi penangkapan terjadi. Syarifin Malako diadili karena didakwa telah memutarbalikkan ideologi, merongrong (mengkritik) kewibawaan negara dan pemerintah, melontarkan ucapan-ucapan anti Asas Tunggal Pancasila dan RUU Keormasan dalam beberapa ceramahnya pada tahun itu.
Selain Syarifin, penangkapan juga dilakukan terhadap Abdul Qadir Djaelani. Ia dijadikan tersangka oleh Polda Metro Jaya karena dianggap menentang asas tunggal dengan makalahnya berjudul: “Sikap Muslim Terhadap Asas Tunggal” (1984).
Setahun kemudian, Prof H Oesmany al-Hamidy MA yang berusia lebih 72 tahun diseret ke pengadilan, dituduh (didakwa) telah melakukan usaha untuk merobohkan negara
(subversif), dalam ceramahnya di Masjid Istiqamah/kampus PTDI Jalan Tawes, Tanjung Priok, 30 Juni 1984, dan dalam “Ikrar Umat Islam Jakarta” 12 September 1984.
Pada tanggal yang terakhir itu terjadi tragedi Tanjung Priok yang menewaskan puluhan orang yang sedang berusaha menuntut pembebasan empat rekan mereka yang ditahan oleh Kodim 0502. Jamaah pengajian Amir Biki diberondong peluru oleh tentara. Mayat-mayat jamaah pengajian yang bergelimpangan—jumlahnya diperkirakan 30-40 orang—itu dilemparkan bertumpuk ke dalam truk milik militer yang kemudian dibawa ke RSPAD Gatot Subroto. Korban tewas tragedi Tanjung Priok ini diperkirakan mencapai ratusan orang.
Suasana penentangan terhadap asas tunggal waktu itu memang sangat kuat. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DIII) merupakan ormas Islam yang paling keras menentang pemberlakukan asas tunggal tersebut. Muhammad Natsir, pimpinan DDII, mengungkapkan penentangannya dalam sebuah pamflet. “Biarkan asas ini menduduki tempat yang sudah dimilikinya selama ini. Ia tidak mengganggu malah membantu. Ia bukan lawan. Ia kawan. Buat apa diganggu! Memang ia mudah saja di buldozerkan dengan suara terbanyak di DPR, umpanya. Hanya kalau cerita-ceritanya tak akan hingga ke sana saja. Contoh-contoh sejarah sudah cukup banyak. Akibatnya berat!!”.
Sepak terjang Natsir itu berlanjut dengan ditandatanganinya Petisi 50 oleh tokoh-tokoh yang melihat pemerintahan Soeharto telah menyimpang dan hanya menguntungkan kroni dan keluarganya. Akibatnya, kelompok Petisi 50 dianggap sebagai ‘musuh negara’. Para penanda tangannya dicekal pergi ke luar negeri.
Selain memakan korban di Jakarta, pemaksaan asas tunggal Pancasila itu pun memakan korban kaum Muslimin dalam peristiwa Talangsari di Lampung 1989, dan Haur Koneng di Majalengka 1993.
Walhasil, siapapun  yang menolak Pancasila sebagai sebagai asas tunggal merupakan pengkhianatan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Karenanya, mereka akan berhadapan dengan negara. Di era itu, Pancasila dianggap memiliki kesakralan (kesaktian) yang tidak boleh diperdebatkan. Meski sebenarnya masyarakat tahu bahwa ajaran itu tidak ada bukti nyatanya. Tapi otoritarianisme Soeharto dan Orde Baru membungkam semua yang bersikap kritis. [] emje
BOKS
Demokrasi Tidak Demokratis
Pemaksaaan organisasi masyarakat untuk berasaskan Pancasila serasa aneh di era yang katanya demokrasi. Bukankah demokrasi menghormati kebebasan warga masyarakat? Terlebih lagi, negeri Indonesia ini mayoritas penduduknya beragama Islam. Kalau orang Islam dipaksa untuk mengambil asas di luar Islam, apakah ini demokratis?
Bagi penganut demokrasi tulen, mayoritas adalah pemenang dan berhak untuk menentukan arah kebijakan. Sebaliknya, yang minoritas harus bisa menerima keminoritasannya dan legowo dengan keputusan yang diambil oleh mayoritas. Sayangnya, prinsip ini hilang dalam demokrasi Indonesia sejak masa Orde Baru. Negara—dalam hal ini penguasa—adalah penentunya dan tak peduli dengan suara rakyat.
Proses politik yang berlangsung di DPR seharusnya memerhatikan suara rakyat. Ketika organisasi masyarakat menentang RUU Ormas, seharusnya DPR dan pemerintah tanggap dan tidak memaksakan diri. Bagaimana pun rakyatlah yang akan menerima dampak dari penyusunan undang-undang itu.
Jika DPR dan pemerintah abai terhadap aspirasi rakyat ini, maka tidak salah jika dikatakan bahwa demokrasi yang sedang dijalani ini hanyalah basa-basi. Demokrasi hanya menjadi alat elite politik untuk menindas rakyat. Dan itu jelas tidak demokratis. Atau, jangan-jangan memang rezim reformasi ini merupakan kepanjangan tangan rezim Orde Baru yang paranoid terhadap gerakan Islam? [] emje

sumber: http://mediaumat.com/media-utama/4469-102-pancasila-di-zaman-orba-alat-negara-menindas-rakyat.html

0 komentar:

Post a Comment