Friday, January 18, 2013

Masjid Datuk Badiuzzaman : Tempat Pengaturan Strategi dalam Perang Sunggal

Jika kita menelusuri masjid bersejarah di kota Medan maka kita tidak bisa terlepas dari sejarah perjuangan kesultanan Deli di Medan. Kesultanan Deli sebagai penguasa ketika itu berperan banyak dalam pembangunan masjid di Medan. Namun sejarah Keseltanan Deli yang dianggap sering bekerjasama dengan Belanda dan Tjong A Fie seorang etnis tionghoa penguasaha dimasanya menjadikan pembangunan masjid – masjid bersejarah di kota Medan tidak terlepas dari bantuan Belanda dan Tjong A Fie. Akan tetapi hal ini tidak bagi Masjid Datuk Badiuzzaman yang dibangun 1985 yang sekarang terletak disamping PDAM (yang dahulu Istana Kedatukan Sunggal) Jl.PDAM suggal No.1 Medan.
  
Masjid Datuk Badiuzzaman sesuai namanya, Masjid ini dibangun oleh Datuk Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti lahir di Sunggal pada tahun 1845 ; memiliki area seluas 19x25 meter dengan halaman seluas +  1ha ini memang tidak begitu megah kesannya, namun pembangunan masjid ini meninggalkan pesan perjuangan yang sangat kuat bagi umat Islam di Medan sekarang. Datok Amansyah Surbakti salah satu keturunan ke – 4  Datuk Badiuzzaman saat ditemui Redaksi medan-syariah.blogspot.com memaparkan bahwa, kalau mesjid ini bisa dikatakan sebagai basis perjuangan malawan Belanda di Sunggal kala itu yang kini kita kenal dengan Perang Sunggal yang terjadi sejak tahun 1970-189.

Sekilas Sejarah kerajaan Sunggal dipimpin oleh Datuk Badiuzzaman

Datuk Badiuzzaman Ia merupakan keturunan ke-7 dari Sesser Surbakti yang asal-usulnya adalah dari Telun Kulu, Tanah Karo. Keturunan Sesser Surbaktilah yang mengawali perkembangan Islam di Sunggal. Sesser Surbakti masuk Islam pada abad k 14 di Labuhan. Anaknya Si Gajah mempunyai putera yang  bernama Adir Surbakti. Mereka bertempat tinggal di daerah Pancurbatu. Selanjutnya putera Adir Surbakti yang bernama Datuk Hitam Surbakti menjadi Raja Sunggal pada 1632 dan seorang anak perempuan mereka yang bernama Nang Baluan kawin dengan Gocah Pahlawan, yang merupakan asal-usul keturunan raja-raja Deli dan raja-raja Serdang. Datuk Hitam Surbakti mempunyai dua orang anak yang laki-laki bernama Datuk Undan Surbakti dan yang perempuan bernama Dayan Sermaidi yang kawin dengan Panglima Mangendar Alam, salah seorang keturunan Sultan Deli. Dari sinilah hubungan awal kekuasaan Deli diperluas ke daerah Sunggal. Namun hal ini tidak serta merta menjadikan hubungan mereka sellu harmonis. Perang sunggallah yang menjadi momentum akhir dari kekuasaan/pengaruh Deli di sunggal. Hampir diketahui oleh banyak pihak bahwa ketika itu kesultanan deli selalu bekerjasama dengan Belanda dalam pengelolaan tanah rakyat. Inilah Pemicu terjadinya 'Perang Sunggal' ini. Pada 1870 Sultan Mahmud Perkasa Alam (Sultan Deli) memberikan tanah yang subur di wilayah Sunggal untuk dijadikan konsensi perkebunan perusahaan Belanda yang bernama De Rotterdam dan Deli Maschapij. Pemberian tanah ini tanpa melalui perundingan dengan penguasa sunggal serta rakyat wilayah Sunggal sehingga timbullah perlawanan hingga 25 tahun lamanya dan ini termasuk perang besar di Hindia Belanda kala itu.

Kala Masjid Menjadi Tempat Pengatur Strategi 

Setelah masjid dibangun, perang Sunggal yang sudah berjalan sekitar 10 tahun lebih lamanya kemudian menjadikan Masjid ini dijadikan sebagai tempat pengatur strategi perang melawan Belanda. Pola gerakan grilia terus dilakukan karena daerah sekitar masjid memang adalah daerah pegunungan dan hutan kala itu bentanganntya hingga ke Karo

Kala itu, atas konpirasi Belanda dengan orang dalam Datuk Badiuzzaman belanda berhasil menjadikan Datuk  tahanan Kota. Dan ia di minta untuk memutuskan hubungan koordinasi antara Datuk Badiuzzaman Surbakti dengan komandan pasukan dan pejuang di daerah Timbang Langkat dan daerah hutan pegunungan. Asisten Residen Siak ,Locker de Bruijne menekannya untuk menyerahkan gerilyawan pejuang rakyat Sunggal kepada Belanda namun walaupun strategi belanda itu tidaklah berhasil. Datuk Badiuzzaman tetap tidak mau menyerahkan mereka kepada Belanda. (Assisten Resident Siak Locker de Bruijne kepada Residen Riau 26 Mei 1872).

Karena berbagai hal di alami oleh pasukan Kedatukan Sunggal kala itu, Datuk Badiuzzaman Surbakti mengubah pola perjuangan dari penyerangan secara langsung kepada serdadu Belanda menjadi penyerangan dengan cara membakar bangsal-bangsal perkebunan Belanda dan maskapai perkebunan asing, dengan maksud menimbulkan rasa tidak aman bagi tuan kebun dan keluarganya, menghentikan kegiatan produksi dan ekspansi areal. Pimpinan penyerangan dan pembakaran bangsal-bangsal tersebut diserahkan kepada adik kandungnya Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti atasintruksinya.

Di Deli sendiri selain pembakaran bangsal-bangsal tembakau. Datuk Badiuzzaman Surbakti juga berhasil menggerakkan rakyatnya, sehingga petani tidak bersedia menjual beras kepada Belanda akibatnya Belanda terpaksa mengimpor beras dari Ranggoon. Pada tahun 1886 timbullah gerakan pengacauan di perkebunan (onderneming). Gerakan ini semakin meluas dan secara serentak di perkebunan milik Belanda dan maskapai perkebunan asing pembakaran bangsal dengan ranjau ini mengakibatkan tidak satupun bangsal dapat diselamatkan. (W.H.Schadee:Greschiednis van Sumatra Ooskust,Deel II).

Untuk memecah hubungan orang Karo dan Melayu Sunggal, Pemerintah Belanda menyokong memasukkan Zending Kristen dari Netherland ke Tanah Karo dan Deli Hulu, kemudian menciptakan pula kontelir khusus untuk urusan Batak dan membendung pengaruh Islam. Politik pecah belah ini tidak berhasil malah makin mengeratkan hubungan antara orang Melayu, Karo dan Batak yang bertekad untuk membebaskan daerahnya dari penjajahan.(T.Luckman Sinar :Perang Sunggal Percetakan Perwira II tahun 1996).

Perjuangan yang anti Klimaks 

Akhirnya, atas penghianatan orang dalam itulah Datuk Badiuzzaman Surbakti 2/3 ditahan beserta adinya. Dan di bawa ke pusat Hindia Belanda kala itu dijanjikan untuk perdamaian malah akhirnya ia ditahan seumur Hidup. Hidupnya sampai akhir khayatnya telah menggagas, memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata bersama rakyat Sunggal, suku Karo, Gayo, Aceh dan suku lainnya dalam mempertahankan wilayah atau tanah Sunggal dari penjajahan Belanda berbasis di Masjid, ia juga memiliki konsistensi sikap dan perjuangan serta jiwa dan semangat tinggi, ini dibuktikannya bersama pejuang Perang Sunggal yang lain mereka tidak pernah menyerah kepada Belanda tetapi ditangkap dan dibuang sampai akhir hayatnya. (Dani Umbara | Redaksi Medan-Syariah.blogspot.com)

0 komentar:

Post a Comment