Saturday, May 4, 2013

Kemerdekaan dan Sehelai Karung








Kemerdekaan selalu kita rayakan pada tanggal 17 Agustus setiap tahunnya. Pada momen itulah kita mengklaim diri kita telah terbebas dari segala bentuk penjajahan. Kemudian pada hari itu pula kita mengadakan berbagai perayaan yang gegap-gempita. Ada berbagai lomba yang meriah, dan ada panggung hiburan yang wah. Sayangnya, istilah kemerdekaan kemudian menjadi istilah yang menipu, sebab sesungguhnya kita tidak benar-benar merdeka. Kita hanya merayakan kemerdekaan karena sudah tidak ada lagi orang-orang berkulit pucat dan berambut pirang yang menodongkan moncong senapan ke kepala kita. Padahal sesungguhnya, kini para penjajah itu tidak perlu lagi susah-susah menodongkan senjata ke kepala kita, justru kita sendiri yang membiarkan mereka mengeruk seluruh harta kekayaan negeri kita, tanpa kita berbuat apa-apa. Penjajahan yang kita alami sekarang ternyata jauh lebih parah, sebab sekarang kita tidak menyadari bahwa kita sedang dijajah.

Mungkin kesadaran akan kemerdekaan itulah yang mendorong warga Dusun Padas Pecah, Desa Pakis Kembar, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, kompak mengibarkan bendera dari karung beras bekas sebagai ganti Sang Saka Merah Putih pada hari kemerdekaan. Mereka kecewa pada pemerintah yang telah gagal mewujudkan kesejahteraan kepada rakyat, dan mereka merasa belum merdeka. Apa yang terjadi di Kabupaten Malang tersebut bisa kita nilai sebagai ungkapan hati nurani rakyat yang paling dalam. Rakyat tidak pernah meminta hidup bermewah-mewahan seperti para pejabat, mereka hanya minta hidup sejahtera saja. Apakah sebegitu sulitnya mewujudkan kesejahteraan itu padahal sudah 67 tahun lamanya Indonesia merdeka? Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang kala itu memimpin sebuah negara yang amat luas mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya hanya dalam waktu sekitar 3 tahun, hingga tak ada lagi rakyatnya yang mau menerima zakat karena sudah merasa sejahtera.

Imperialisme (penjajahan) yang kita hadapi saat ini bukanlah imperialisme kuno, dimana para penjajah mesti datang ke negeri kita dengan membawa pasukan perang kemudian menindas kita. Saat ini para penjajah menggunakan neo-imperialisme, dimana mereka tidak perlu susah-susah datang ke negeri kita dengan membawa pasukan perang, cukup tanamkan saja anak-anak negeri ini yang telah loyal kepada mereka untuk menjadi pemimpin negeri ini, kemudian merekalah yang akan membuat peraturan perundangan yang memungkinkan para penjajah mengeruk segala kekayaan negeri kita. Dan seperti itulah yang terjadi di negeri ini.

Lihat saja, sebagian besar sumber daya alam negeri ini tidak kita miliki, tetapi dimiliki oleh perusahaan-perusahaan multinasional seperti Freeport McMoran, Shell, Chevron, Newmont, dll. Perusahaan-perusahaan multinasional itu bisa beroperasi di negeri ini karena dilindungi oleh undang-undang yang dibuat oleh para penguasa yang membebek kepada negara-negara adidaya itu. Adanya UU Migas, UU Penanaman Modal, dan berbagai UU yang berbau neoliberal lainnya menjadi bukti yang sangat kuat bahwa negara ini sedang digadaikan kepada para penjajah. Yang kemudian menjadi korban adalah rakyat. Merekalah yang menjadi pemilik sah dari semua sumber daya alam itu, namun mereka tidak bisa menikmatinya.

Islam mengajarkan bahwa sumber daya alam yang besar depositnya adalah milik rakyat, dan negara diwajibkan untuk mengelolanya dengan amanah, kemudian hasilnya diserahkan kembali kepada rakyat berupa berbagai pelayanan sosial dan fasilitas yang memuaskan. Islam mengharamkan sumber daya alam diserahkan kepada asing.[@sayfmuhammadisa]

0 komentar:

Post a Comment