Oleh : Abdullah Zaid , Aktivis Politik Islam, tinggal di Kobar
Siapapun sepakat, demokrasi adalah sistem politik terbaik
setidaknya hingga detik ini. Banyak yang berpandangan demokrasi mampu
memberikan ruang kebebasan berekspresi, partisipasi publik dan persamaan
hak politik serta hukum bagi setiap warga negara. Bagi para pecintanya,
demokrasi kerap menjadi simbol perlawanan terhadap pemerintahan
diktator dan otoriter. Lebih jauh dari itu, demokrasi telah menjelma
menjadi agama baru yang sakral dan haram diganggu gugat. Bagi Indonesia,
demokrasi menjadi sistem politik pemerintahan yang compatible dalam
sebuah negeri dengan beragam agama, suku, bahasa dan budaya. Demokrasi
dianggap mampu menampung dan mengelola energi perbedaan yang ada menjadi
sebuah harmoni kehidupan penuh kedamaian. Singkat cerita, masyarakat
sudah kadung yakin dan yakin percaya demokrasi mampu membawa kehidupan
bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Kekuatan utama demokrasi sebagai instrumen perubahan terletak asas
kedaulatan rakyat. Dalam demokrasi, suara rakyat adalah suara Tuhan.
Sehingga, suara rakyat berhak menjadi sumber kebenaran dan sumber
legislasi kekuasaan bagi para pemimpin pemerintahan yang demokratis.
Kedaulatan ditangan rakyat menjadikan rakyat sebagai wakil tuhan yang
berhak menentukan apa yang benar dan apa yang salah. Mana yang boleh
dan mana yang tidak boleh. Rakyat pula yang berhak menentukan siapa yang
pantas sebagai pemimpin dan wakil rakyat terbaik berdasarkan suara
mayoritas. Harapannya, akan tercipta pemerintahan yang mampu mewujudkan
nilai nilai demokrasi substantif itu sendiri yakni persamaan, keadilan
dan kesejahteraan bagi semua.
Sayangnya, sejak era reformasi 1998 hingga kini, demokrasi terus
mempertontonkan anomali tanpa henti. Paras demokrasi yang dulunya begitu
cantik memesona, kini berubah menjadi monster yang menyeramkan dan
membuat semua orang takut. Pelan tapi pasti, kepercayaan rakyat terhadap
demokrasi semakin terdegradasi hingga titik nadir. Bagaimana tidak,
proses demokratisasi yang tercermin melalui penyelenggaraan
pemilu/pemilukada secara langsung terbukti gagal menghasilkan
pemimpin/wakil rakyat yang amanah, adil dan berkualitas. Yang muncul
justru pemimpin rakus kekuasaan dan bermental korup. Hari ini kita
menyaksikan dan merasakan para pemimpin kita asyik berdebat dan
bersandiwara guna meraih simpati, namun kering dengan nilai empati
terhadap nasib rakyat kecil. Amanah sebagai presiden, menteri, kepala
daerah dan anggota dewan justru menjadi ajang eskploitasi guna membangun
dinasti kekuasaan, memperkaya diri dengan korupsi dan menerapkan
kebijakan zalim demi memenuhi pesanan para penyumbang dana kampanye dari
kalangan pemilik modal atau asing . Alhasil, bukannya untung,
masyarakat malah menjadi buntung karena menjadi korban kebijakan zalim
penguasa.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam
Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Djohan mengungkapkan, sejak tahun 2004
sampai Februari 2013, sudah ada 291 kepala daerah, baik
gubernur/bupati/walikota yang terjerat kasus korupsi. Rinciannya, kata
Djohan, Gubernur 21 orang, Wakil Gubernur 7 Orang, Bupati 156 orang,
Wakil Bupati 46 orang, Walikota 41 orang dan Wakil Wali-kota 20 orang.
Jumlah itu diyakini akan membengkak hingga 300 akhir tahun ini.
Kondisi yang sama juga menimpa anggota DPR/DPRD yang nota bene
merupakan salah satu pilar pemerintahan demokrasitis. Meski menyandang
status sebagai wakil rakyat yang tehormat, namun perilaku para anggota
dewan patut mendapat laknat. Djohan mengungkapkan, anggota legislatif
yang terjerat korupsi di DPRD kabupaten/kota tercatat sebanyak 431 orang
dan DPRD Provinsi 2.545.
“Jumlah itu 6,1 persen dari total 18.275 anggota DPRD se-Indonesia,” bebernya. (www.rmol.co)
Hal itu belum termasuk korupsi yang dilakukan oleh sejumlah
politisi DPR RI yang duduk di senayan. Sebut saja korupsi proyek
Hambalang yang menyeret Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas
Urbaningrum dan Korupsi Daging Sapi yang melibatkan mantan Ketua Umum
PKS Luthfi Hasan Ishaq. Bahkan pengadaan kitab suci Al Quran yang
memiliki dimensi religius sekalipun tak luput dari praktik korupsi yang
dilakukan oleh Anggota Komisi VII DPR asal partai Golkar Zulkarnaen
Djabar.
Terlihat jelas, bahwa semakin demokratis bangsa ini, justru
menjadikan para pemimpin dan wakil rakyat kita semakin rakus kekuasaan
dan materi. Bagaimana mungkin masyarakat akan merasakan keadilan dan
kesejahteraan jika bertumpu pada kepemimpinan berhati serigala semacam
ini ?
Demokrasi juga kerap dibanggakan oleh para pemujanya sebagai jalan
untuk meraih kesejahteraan. Namun, kebijakan pemerintah SBY yang
berencana menaikkan harga BBM bersubsidi mementahkan teori usang
tersebut. Sebab, naiknya harga BBM pasti akan semakin membebani ekonomi
rakyat yang sebelumnya sudah terjepit. Organisasi Angkutan Darat
(Organda) merespons rencana kenaikan harga BBM subsid dengan memberikan
dua opsi, yaitu menaikkan biaya transportasi kepada konsumen hingga 35%
atau mogok massal. (finance.detik.com, 30/4).
Logika sederhana, jika ongkos angkutan naik, semua biaya kebutuhan
juga naik. Kalau sudah begini, maka rakyat kecil yang harus menjadi
korban. Bukannya membela, para pejabat dan wakil rakyat dari pusat
hingga daerah justru lantang mendukung kebijakan anti rakyat tersebut.
Sehingga, bagaimana mungkin akan terwujud kesejahteraan bagi seluruh
warga negara kalau para pemimpin dan anggota dewan yang terhormat
ternyata buta melihat penderitaan rakyat. Ini menjadi bukti kebijakan
ekonomi yang kapitalistik selama ini gagal menciptakan pemerataan
pembangunan dan sebaliknya justru semakin memperuncing kesenjangan
antara si kaya dan si miskin
Katanya lagi, demokrasi mampu memberikan rasa keadilan dan
persamaan hukum bagi seluruh warga negara. Sayangnya, slogan ini hanya
sebatas mimpi tanpa pernah terbukti. Hukum dinegeri ini hanya tajam ke
bawah, namun tumpul ke atas. Ketika yang menjadi pesakitan adalah wong
cilik, maka pisau hukum begitu tegas. Namun, ketika yang tersangkut
hukum adalah para petinggi atau individu yang berada dalam lingkaran
kekuasaan, pisau hukum tiba tiba menjadi tumpul. Sebut saja kasus-kasus
besar seperti Bank Century yang hingga kini penuh misteri. Ada juga
kasus lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo yang laris menjadi gado gado
politik oleh para politisi tanpa ada penyelesaian secara tuntas. Tapi,
itu bukanlah akhir dari kejahatan demokrasi. Jangan lupa, demokrasi
juga harus turut bertanggung jawab atas berbagai konflik sosial,
degradasi moral, dan anjloknya kualitas pendidikan yang menjadikan
bangsa ini semakin sekarat.
Meski saat ini masyarakat sedang mabuk oleh euforia demokrasi
jelang pemilu 2014, toh pada akhirnya semua akan sadar dan bertanya
tanya, untuk apa sih demokrasi kalau kemudian membuat kehidupan yang
dijalani penuh dengan kesengsaraan, kemiskinan, dan kebodohan. Untuk apa
demokrasi, jika presiden, gubernur, walikota, bupati dan para wakil
rakyat yang terpilih tidak amanah, gemar mengobral janji palsu dan tak
sungkan menzalimi rakyat. Atas semua pertanyaan tersebut, demokrasi
harus berkata jujur pada diri sendiri. Ternyata suara rakyat tak sama
dengan suara Tuhan. Suara rakyat tetaplah suara dari mahluk ciptaan
Allah SWT yang serba lemah, memiliki akal dan indera yang terbatas serta
cenderung mengikuti hawa nafsu. Secerdas apapun manusia, dia tidak akan
pernah mampu memahami hakikat kebenaran segala sesuatu. Harus kita
akui, manusia terlalu sombong untuk menolak campur tangan Allah SWT
dalam mengatur urusan kehidupan secara umum. Sehingga, setiap produk
pemikiran atau undang undang yang dihasilkan eksekutif bersama
legistatif penuh kekurangan, tidak solutif dan senantiasa berubah ubah
tergantung kondisi dan situasi yang berkembang. Bandingkan dengan suara
Tuhan, Zat Maha Tahu Segala Sesuatu Allah SWT yang tak pernah salah,
adil, solutif dan aplikatif sepanjang masa, kapan saja dan dimana saja.
Jika suara Tuhan yang termaktub dalam Syariah Islam dikonkretkan sebagai
dasar kehidupan bernegara, maka sangat mudah mewujudkan mimpi demokrasi
yang selama ini sulit terwujud yakni persamaan, keadilan dan
kesejahteraan bagi semua, baik muslim maupun nonmuslim. Sayangnya, para
pemimpin dan wakil rakyat kita masih terlalu sombong, tidak mampu
mengambil hikmah atau mungkin sudah rabun dalam melihat kebenaran. Tapi,
itu bukan masalah. Sebab, pada titik inilah cerita the end of democracy (akhir
demokrasi) bermula dan akan segera tamat seiring dengan karamnya perahu
demokrasi beserta segala kotoran yang ditimbulkannya. Dan kini tanda
tanda runtuhnya peradaban demokrasi sekuler sudah sangat jelas terlihat
baik di level lokal, nasional maupun global. Pada satu sisi, negara
negara eropa dan barat sebagai kiblat demokrasi sedang mengalami krisis
sosial dan ekonomi akibat kebijakan demokratis yang berdampak sistemik.
Di belahan dunia yang lain, umat Islam dari Maroko hingga Merauke sedang
mengalami kebangkitan politik dengan menyuarakan penegakan Syariah
dalam bingkai Khilafah sebagai pengganti sistem demokrasi yang sudah
bobrok. Insya Allah. (Borneonews, 6/5/2013)
sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2013/05/07/the-end-of-democracy/
0 komentar:
Post a Comment