Musibah banjir terparah di negeri ini adalah
banjir di ibukota
Jakarta.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), musibah banjir di
Jakarta telah menelan
korban meninggal 15 orang. Jumlah orang yang mengungsi mencapai hampir 50 ribu
orang dan kerugian materi mencapai triliunan (lihat, kompas.com, 21/1).
Untuk itu semua pihak, yang terkena musibah dan
yang tidak, hendaknya merenungkan tuntunan Islam dalam menyikapi musibah,
sehingga musibah bisa disikapi dengan benar dan dipetik hikmahnya demi kebaikan
dan perbaikan ke depan.
Iman dan Ridho terhadap Qadha’ Allah
Kita wajib beriman bahwa musibah apa pun termasuk
musibah banjir sudah ditetapkan Allah SWT. Kita pun wajib menerima ketentuan
Allah ini dengan lapang dada (ridha). Allah SWT berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ
فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi
dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
(TQS al-Hadid [57] : 22)
Sikap lapang dada dan ridha akan mendatangkan
kekuatan ruhiyah yang besar dalam menghadapi musibah itu. Juga bisa memberikan
suasana psikologis yang akan meringankan dampak musibah itu dan sangat membantu
dalam upaya penyelesaiannya.
Bersabar, Banyak Berdoa dan Berdzikir
Sebagai qadha’, musibah itu tak terhindarkan
sehingga bagaimanapun juga harus dihadapi. Untuk itu, sikap sabar itu harus
dipupuk sebab Allah memang akan menguji hamba-Nya dengan musibah; dan bagi
orang yang sabar menghadapinya Allah berikan kabar gembira.
... وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ
قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ
مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang
yang sabar. orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna
lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn”. Mereka itulah yang mendapat keberkahan dan
rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.
(TQS al-Baqarah [2] : 155-157)
Rasul saw mengajarkan agar kita banyak istirja’
(mengembalikan segalanya kepada Allah) dan berdoa. Rasul saw bersabda:
«مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى
وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ أَجَرَهُ اللَّهُ فِى مُصِيبَتِهِ وَأَخْلَفَ
لَهُ خَيْرًا مِنْهَا»
Tidaklah seorang hamba ditimpa musibah lalu ia
mengatakan, “Inna lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn –sesungguhnya kami adalah
milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali-, ya Allah berilah pahala kepadaku
dalam musibahku ini, dan berilah ganti bagiku yang lebih baik daripadanya”,
kecuali Allah memberinya pahala dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang
lebih baik untuknya (HR Muslim, Ahmad dan Ibn Majah)
Dalam kondisi itu hendaknya juga banyak berdzikir.
Dzikir akan dapat menenteramkan hati orang yang sedang gelisah atau stress.
Dzikir ibarat air es yang dapat mendinginkan tenggorokan di tengah terik cuaca
panas. Allah berfirman (artinya): “Ingatlah, hanya dengan mengingati
Allah-lah hati menjadi tenteram.” (TQS ar-Ra’du [13] : 28).
Mengetahui Hikmah di Balik Musibah
Di balik musibah sebenarnya terkandung hikmah yang
luar biasa. Sabda Rasul saw di atas menyatakan, jika musibah datang dihadapi
dengan istirja’, doa dan sabar, niscaya Allah akan menggantinya dengan yang
lebih baik, di dunia dan atau di akhirat.
Bukan hanya itu, Allah juga menjanjikan ampunan.
Rasul saw bersabda:
«مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ شَوْكَةٌ فَمَا فَوْقَهَا
إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً أَوْ حَطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةً»
Tidaklah seorang mukmin tertimpa musibah
tertusuk duri atau lebih dari itu, kecuali dengannya Allah tinggikan dia satu
derajat atau Allah hapuskan darinya satu kesalahan. (HR Muslim,
at-Tirmidzi, Ahmad)
Bahkan di antara musibah itu ada yang Allah
sediakan pahala syahid. Rasul saw bersabda:
«الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ
وَالْغَرِقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ»
Orang-orang yang syahid itu ada lima golongan: orang yang
(mati karena) wabah -tha’un-, penyakit perut (disentri, kolera, dsb),
tenggelam, tertimpa tembok/bangunan, dan syahid di jalan Allah. (HR
Bukhari dan Muslim)
Muslim yang memahami hikmah atau rahasia di balik
musibah itu, dilandasi dengan iman, disertai sikap ridha terhadap qadha’ dan
sabar menghadapinya, maka ia akan memiliki ketangguhan mental yang luar biasa.
Dengan semua itu, niscaya setelah musibah berlalu, semuanya berubah menjadi
kebaikan.
Bertaubat dan Ikhtiar Melakukan Perbaikan
Musibah yang menimpa manusia tiada lain adalah
akibat dosa mereka. Allah SWT berfirman:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو
عَنْ كَثِيرٍ
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka
adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian
besar. (TQS asy-Syura [42] : 30)
Musibah yang menimpa juga bisa merupakan
konsekuensi dari kemaksiatan dalam bentuk fasad atau kerusakan yang diperbuat
oleh manusia di muka bumi (Lihat, QS ar-Rum [30]: 41).
Karena itu, yang pertama harus dilakukan adalah
muhasabah, merenungkan kemaksiatan atau kerusakan apa yang sudah diperbuat lalu
bertaubat dengan taubatan nashuha. Yaitu menyesalinya dan mohon ampunan;
berhenti tidak lagi melakukannya; dan bertekad kuat tidak akan mengulanginya
lagi di masa datang serta diiringi dengan melakukan perbaikan baik terkait
dengan sesama atau terhadap kerusakan yang ditimbulkan. Begitu pun dalam
musibah banjir belakangan ini.
Banjir terjadi ketika neraca air permukaan
positif. Neraca air ditentukan empat faktor: curah hujan, air limpahan dari
wilayah sekitar, air yang diserap tanah dan air yang dapat dibuang atau
dilimpahkan keluar. Dari semua itu, hanya curah hujan yang tidak bisa
dipengaruhi dan diintervensi oleh manusia.
Jumlah air yang terserap tanah tergantung jenis
tanah dan vegetasi (tumbuhan) di atasnya. Limpahan air dari wilayah sekitar
sangat dipengaruhi oleh jumlah air yang terserap tanah di wilayah sekitar itu.
Makin banyak vegetasi, makin tinggi daya serapnya. Makin luas wilayah resapan
dan terbuka hijau, akan makin besar jumlah air yang tertampung dan terserap
tanah. Menggunduli hutan, mengeringkan rawa dan situ atau mengubah fungsinya
secara drastis, dan makin luas permukaan tanah yang ditutup beton dan aspal,
berarti merencanakan bencana. Itulah yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya.
Dalam kurun waktu lima
tahun, 56 situ di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan
Bekasi telah menghilang. Yang tersisa mengalami pendangkalan dan kerusakan
parah karena diabaikan. Luas total situ di Jabodatabek berkurang drastis dari
2.337,10 hektare untuk total 240 situ, sekarang menjadi hanya 1.462,78 hektare
untuk 184 situ.
Laju pembangunan yang tak terkendali menyebabkan hilangnya
daerah dan fungsi resapan air di Jakarta dan kawasan sekitarnya terutama
Puncak. Di Jakarta daerah resapan tak sampai 10%, sangat jauh dari angka
minimal 30% yang disyaratkan, semuanya tergusur oleh pembangunan. Sedangkan di
Puncak, kehilangan fungsi resapan itu hingga 50 persen jika dibandingkan
kondisi 15 tahun lalu. (lihat, tempo.co.id, 18/1)
Sedangkan limpahan air masuk dan keluar, maka itu
dapat dikelola dengan bendungan, tanggul, kanal, dan pompa air. Sayangnya
menurut BNPB, kemampuan
Kali Ciliwung hilir, Angke, Pesanggrahan, Krukut dan sungai lainnya hanya mampu
mengalirkan kurang dari 30% air yang ada. Hal itu karena pendangkalan,
penyempitan terdesak oleh pemukiman di bantaran sungai dan karena tertutup
sampah.
Masalah Banjir: Tak Hanya Teknis tapi Sistemis
dan Ideologis
Banjir
yang selalu terjadi, berulang, dan makin parah, bukti bahwa itu bukan masalah
teknis belaka, tetapi persoalan sistemik. Juga bukan sekadar masalah sistem
teknis, di mana banjjir itu bisa diselesaikan dengan bendungan baru, pompa
baru, kanal baru, dll.
Lebih
dari itu, banjir merupakan masalah sistemis ideologis. Sebab masalahnya juga
menyangkut tata ruang yang tidak dipatuhi, kemiskinan yang mendorong orang
menempati bantaran sungai, keserakahan yang membuat daerah hulu digunduli,
daerah resapan ‘ditanami’ gedung dan mall demi pendapatan daerah dan memuaskan
nafsu kapitalis, sistem anggaran yang tidak adaptable untuk
atasi bencana, pejabat dan petugas yang tidak kompeten dan abai mengadakan dan
mengawasi infrastruktur, penguasa dan politisi yang lalai mengurusi dan
menjamin kemaslahatan rakyat, dsb. Semuanya itu saling terkait dan berhulu pada
ide mendasar bahwa semua itu diserahkan kepada mekanisme pasar dan proses
demokratis. Dengan kata lain masalah banjir itu adalah masalah sistem dan
ideologi yaitu sekulerisme kapitalisme demokrasi.
Dengan
demikian, kemaksiyatan yang menyebabkan musibah banjir itu bukan hanya
kemaksiyatan individual tetapi juga kemaksiyatan kolektif pada tingkat
masyarakat; juga tak sekadar kemaksiyatan teknis tetapi juga kemaksiyatan
sistemis idelogis. Karena itu, taubat dalam masalah banjir, tentu tidak cukup
pada tingkat individu, tetapi juga harus taubat secara kolektif pada tingkat
masyarakat. Ikhtiar yang harus dilakukan juga tidak bisa hanya sebatas teknis,
melainkan juga pada tataran sistemis ideologis. Taubat dan ikhtiar itu harus
disempurnakan dengan meninggalkan sistem ideologi kapitalisme demokrasi dan
menggantinya dengan sistem ideologi Islam, dan itu hanya bisa diimplementasikan
dalam bingkai Khilafah. Inilah bentuk taubatan nashuha dan ikhtiar sempurna
yang harus dilakukan sekaligus upaya tuntas mengatasi masalah banjir. Wallâh
a’lam bi ash-shawâb. []
Al-Islam
edisi 641, 25 Januari 2013 – 13 Rabiul Awal 1434