Dalam
perjalanan sejarah umat manusia, perempuan telah kerap kali menjadi korban
peradaban. Berbagai penindasan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan
pelecehan selalu mendera tubuh wanita. Menurut penuturan Prof. Will Durant, di
Roma hanya kaum lelaki saja yang berhak membeli, memiliki, atau menjual
sesuatu, atau membuat perjanjian bisnis. Bahkan mas kawin istrinya pada
masa-masa itu menjadi miliknya pribadi.
Pandangan
yang lebih ekstrim lagi yang menghinakan perempuan bisa kita dapatkan dari
peradaban Yahudi. Di dalam Talmud (kitab suci Yahudi selain Taurat) dinyatakan
bahwa mustahil ada sebuah dunia yang tanpa keberadaan kaum lelaki dan
perempuan. Namun demikian berbahagialah orang yang memiliki anak lelaki, dan
celakalah orang yang memiliki anak perempuan. Pada peradaban Arab jahiliyyah
kita juga akan menemukan bahwa perempuan menempati derajat yang sangat rendah.
Setiap orang yang mendapat kabar bahwa ia mendapatkan anak perempuan akan
menghitamlah mukanya (kiasan dari “malu yang amat sangat” di peradaban Arab
jahiliyyah). Dan sudah berabad-abad lamanya perempuan hanya menjadi objek
pemuas nafsu kaum pria.
Sebagai
sebuah arus perlawanan, kemudian muncullah Feminisme. Mereka menggaungkan
emansipasi wanita, bahwa wanita memiliki hak-hak yang sama dengan kaum lelaki.
Tak boleh ada diskriminasi dan kesewenang-wenangan terhadap kaum wanita hanya
karena mereka wanita. Ketika lelaki boleh memiliki mobil dan perusahaan
sendiri, maka perempuan juga harus dibolehkan melakukan hal itu. Jika ada
sepakbola lelaki, maka harus ada sepakbola perempuan. Jika ada tinju bagi
lelaki, maka harus ada juga tinju bagi perempuan. Jika ada binaraga bagi
lelaki, maka wajib ada binaraga bagi perempuan. Mereka ingin perempuan dan
laki-laki sama dalam segala hal.
Kalangan feminis juga tak ketinggalan menghujat
hukum-hukum Islam. Mereka menuding bahwa hukum-hukum Islam mengekang dan
membatasi perempuan. Tidak adil dan menindas. Salah satu hukum yang mereka
hujat habis-habisan adalah poligami. Saat Islam menghalalkan poligami, mereka
mengatakan hal itu adalah penindasan yang sangat nyata terhadap hak-hak
perempuan. Mereka juga mengkritik hukum waris dalam Islam yang pembagiannya
tidak adil antara lelaki dan perempuan. Kewajiban untuk memakai kerudung dan
jilbab menurut mereka adalah sebuah bentuk diskriminasi. Kata mereka Islam
mengharuskan perempuan berdiam diri di rumah dan mengekang mereka dalam
urusan-urusan domestik (dapur, sumur, kasur).
Padahal
dengan sedikit saja membuka akal dan pikiran kita, kita akan mengetahui bahwa
hanya Islam saja yang memuliakan perempuan. Dalam pandangan Islam, laki-laki
dan perempuan adalah sama. Sama-sama manusia yang memiliki kebutuhan jasmani
dan naluri yang sama. Tidak ada yang satu merasa lebih mulia dari yang lain.
Islam memandang bahwa kemuliaan itu datangnya dari ketaqwaan, dan hal itu bisa
diraih baik oleh laki-laki atau perempuan. Selain itu, Islam juga memandang
bahwa lelaki dan perempuan punya struktur tubuh dan tabiat yang berbeda,
sehingga aturan yang terkait dengan hal ini pun harus berbeda. Dengan demikian
akan tercipta keselarasan dan keseimbangan, masing-masing lelaki dan perempuan
menjalankan peran dan fungsinya masing-masing dalam masyarakat. Itulah aturan
Islam. (follow @sayfmuhammadisa)
0 komentar:
Post a Comment