Akhir-akhir ini kasus pungli di KUA marak diberitakan. Di Indonesia
ini banyak kasus nikah yang tidak didaftarkan resmi (nikah siri).
Sebagian nikah siri ini memiliki alasan rumitnya berpoligami di
Indonesia (mesti ada izin istri-1, ada izin atasan bagi PNS, menghadapi
pandangan miring masyarakat, dsb.), sedang sebagian lagi beralasan
mahalnya biaya (pungli) di KUA.
Memang biaya pencatatan nikah resmi
cuma Rp. 30.000. Tetapi kalau petugas KUA diminta datang ke rumah,
apalagi di luar jam kerja atau di hari libur di musim banyak orang
nikah, maka selain perlu biaya transportasi dan lembur, juga terjadi
hukum ekonomi: jasa yang banyak dicari, padahal suplainya terbatas, akan
menjadi lebih mahal.
Padahal, tanpa surat nikah, maka anak yang akan dilahirkan akan
kesulitan akta kelahiran atau di akta kelahiran tidak bisa ditulis nama
ayahnya. Tanpa akta kelahiran, nanti anak akan kesulitan masuk sekolah.
Tanpa akta kelahiran juga nanti akan sulit mengurus KTP atau paspor.
Tanpa paspor, maka orang tidak bisa naik haji, sekalipun dapat warisan
milyaran rupiah.
Sistem administrasi negeri ini memang semrawut. Sebenarnya aturannya
jelas tetapi masih banyak celah yang multitafsir atau belum dibarengi
sistem mekanis yang memaksa untuk mengikuti sistem tetapi sekaligus juga
adil. Beberapa waktu yang lalu, seorang anak kelas IV SD dipaksa
kembali ke kelas 1 karena rapornya hilang. Padahal mestinya di sekolah
ada buku induk yang bisa dipakai untuk membuatkan rapor duplikat.
Ada lagi seorang pembuat paspor dengan nama dua kata (misalnya
Muhammad Ali), ketika petugas imigrasi tahu dia bikin paspor untuk pergi
umrah, dipaksa menambah namanya jadi 3 kata (misalnya jadi Muhammad Ali
Usman). Ternyata belakangan penambahan nama ini jadi problem saat dia
check-in di bandara, karena tiketnya dipesan dengan dua nama saja.
Mungkin karena di negeri ini sistem administrasi baru ada setelah era
kemerdekaan. Di zaman penjajahan, Belanda sudah memperkenalkan sistem
administrasi, tetapi masih sporadis, hanya di kota-kota, dan cenderung
diskriminatif. Padahal berabad-abad sebelumnya, Daulah Khilafah sudah
melakukannya secara cermat dan efisien.
Umar bin Khattab sudah memerintahkan pencatatan warga negara khilafah
secara lengkap, bahkan meliputi data kapan mereka masuk Islam, sudah
berapa kali ikut berjihad dan sebagainya. Walhasil, pungutan dan
pembagian zakat di masa khilafah sesudahnya sudah berjalan tepat sasaran
(efektif).
Masih ingat Mariam Ammash? Dia terdata dalam dokumen kelahiran
keluaran otoritas Utsmaniyah tahun 1888, yang kemudian dijadikan dasar
otoritas Israel untuk membuatkan kartu identitas bagi Mariam. Nenek
yang wafat tahun 2012 ini tercatat sebagai warga bumi tertua.
Yang dipegang Mariam bukanlah paspor Utsmaniyah, tetapi KTP Israel
(perhatikan huruf Ibrani dan cap Menorah). Tetapi di situ tertulis tahun
kelahiran 1888, zaman wilayah itu dalam kekuasaan Utsmaniyah.
Bagi mayoritas orang, dokumen dengan bentuk fisik dan visual memang
dianggap lebih otentik dan dapat berbicara lebih banyak dibandingkan
dengan klaim atau pengakuan. Itulah mungkin yang sempat menjadikan isu
(hoax) “KTP Utsmani” di balik foto Mariam santer beredar di dunia maya.
Walaupun demikian dokumen-dokumen resmi Khilafah Utsmaniyah sebenarnya
banyak tersimpan dan dipamerkan di museum maupun perpustakaan di Turki,
Suriah, Mesir dan sebagainya.
Ini merupakan salah satu dokumen identifikasi penduduk yang diadopsi
otoritas Utsmaniyah sejak 1863. Berisi data pemegang, orang tua, alamat,
dan deskripsi fisik (www.sephardicstudies.org).
Paspor ini diberikan konsul Utsmaniyah di Singapura pada 1902 dan
Batavia pada 1911 untuk Abdul Rahman bin Abdul Majid. Dia pedagang
Utsmaniyah yang lahir di Konstantinopel, kemudian pernah menjadi
penduduk di Mekah dan Batavia (www.ottomansoutheastasia.org)
Dokumen-dokumen itu menunjukkan bahwa negara Khilafah waktu itu
memang “mendahului zaman”. Bahwa negara itu akhirnya runtuh, itu hanya
menunjukkan bahwa administrasi memang hanya sistem pendukung (supporting
system) dalam sebuah negara, yang berada di bawah sistem politik, hukum
dan ekonomi. Namun dengan sistem administrasi yang baik, maka kebaikan
yang ada dalam sebuah sistem politik akan lebih baik lagi, dan
merupakan dakwah yang sempurna.
0 komentar:
Post a Comment