Oleh: Hafidz Abdurrahman
Hakim mempunyai posisi yang sangat penting dan krusial, karena dialah
orang yang memutuskan perkara di tengah masyarakat. Karena itu, posisi
hakim ini mengharuskan pemangkunya harus kredibel, orang yang dihormati
dan adil dalam memberikan keputusan. Seorang hakim tidak akan bisa
memperolah kedudukan yang mulia seperti ini, kecuali melalui pembuktian
yang dia tunjukkan dengan prilakunya yang bisa diterima masyarakat, jauh
dari syubhat dan kuat dalam memegang prinsip.
Para fuqaha’ telah menjelaskan kriteria hakim, adab dan akhlak yang
seharusnya mereka miliki. Mereka juga telah menjelaskan hal-hal yang
seharusnya mereka jauhi, baik dalam prilaku maupun aktivitas mereka.
Tentu, penjelasan ini hanya sekedar contoh, bukan untuk membatasi hanya
itu. Pendek kata, prinsip dasarnya adalah, “Prilaku hakim harus diterima
masyarakat, tidak memancing kebencian dan keraguan terhadapnya.”
Akhlak Hakim
Selain beberapa hal yang dijelaskan di atas, seorang hakim seharusnya
berwibawa, sederhana, dan jauh dari perkara yang bisa merusak harga
dirinya dan menyebabkannya tidak layak menjadi hakim, tidak banyak
berinteraksi dengan masyarakat sehingga tidak terpengaruh dengan mereka.
Tidak bersenda gurau dengan orang lain dalam forum atau majelis mereka.
Karena semuanya itu bisa mengikis wibawanya, sementara dia membutuhkan
wibawa dan harga diri.
Tutur katanya juga harus berisi dan bernilai tinggi, jauh dari kata
yang sia-sia, cabul, kotor, olok-olok dan merendahkan martabat orang
lain.
Kegiatan Hakim di Luar Wilayah Peradilan
Imam as-Syafi’i rahimahu-Llah berkata, “Bagi saya, hukumnya makruh
seorang hakim melakukan jual-beli karena khawatir menimbulkan bias..
Sebab, dengan melakukan jual beli, dia tidak bisa bebas dari melakukan
tawar-menawar dan bias sehingga ketika membuat keputusan dia bisa tawar
menawar dan bias terhadap orang yang melakukan tawar menawar dan bias
dengannya.” (Lihat, al-Mawardi, Adab al-Qadhi, Juz I/237-238)
Aktivitas bisnis ini bisa dianalogikan dengan aktivitas yang lain,
sesuai dengan siatuasi dan kondisi yang dihadapi oleh masing-masing
hakim di wilayahnya.
As-Samnani berkata, “Hakim adalah orang yang dibayar kaum Muslim,
maka dia tidak layak untuk menyibukkan diri dengan bisnis yang bisa
menghalanginya untuk memperhatikan urusannya. Namun, jika dia
memperhatikan bisnis dan kegiatan produksi yang tidak mengganggu tugas
yang dibebankan kepadanya, maka hukumnya boleh.” (Lihat, as-Samnani,
Raudhatu al-Qudhat, Juz I/658)
Tugas hakim memang mengharuskannya untuk banyak melakukan kajian
terhadap kitab-kitab fikih, serta problem yang dihadapi oleh masyarakat
sehingga dia bisa mengetahui hukum yang sahih, dan bisa mengambil
keputusan dengan tepat. Ini mengharuskan hakim untuk mencurahkan pikiran
dan waktunya.
Hadiah untuk Hakim
Pada dasarnya memberi dan menerima hadiah sama-sama diperbolehkan
oleh syara’. Bahkan, hadiah bisa menjadi sarana untuk menumbuhkan kasih
sayang di antara sesama, sebagaimana hadits Nabi, “Saling memberi
hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai.”
Namun jika hadiah tersebut bisa menimbulkan mafsadat, sebagaimana
seorang hakim menerima hadiah dari dua pihak yang sedang berperkara,
maka hadiah dalam konteks seperti ini tidak diperbolehkan. Para fuqaha’
menyatakan, “Seorang hakim tidak boleh menerima hibah dari salah satu
pihak yang berperkara, karena hadiah tersebut bisa memicu terjadinya
tuduhan nepotisme.” Bahkan mereka ada yang menyatakan, “Secara mutlak
hadiah yang diberikan kepada hakim adalah makruh, baik dari dua pihak
berperkara maupun dari pihak lain.”
Suatu ketika ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menolak hadiah yang diberikan
kepadanya, kemudian ada yang berkata kepadanya, “Sesungguhnya Nabi saw
pernah menerima hadiah.” ‘Umar pun menjawab, “Bagi Nabi itu merupakan
hadiah, tetapi bagi kami itu merupakan suap. Sebab, dengan hadiah ini
kaum Muslim berusaha dekat dengan Nabi saw, karena faktor kenabian
baginda. Disamping karena baginda terjaga dari dampak buruk dari hadiah,
sementara yang lain tidak.” (Lihat, Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/38;
Ibn Farkhun, Tabshiratu al-Hukkamh, Juz I/30; as-Siyaghi, ar-Raudh
an-Nadhir Syarah Majmu’ al-Fiqh al-Kabir, Juz II/119)
Hadiah bisa dianalogikan dengan pemberian yang lain yang diberikan oleh penduduk di wilayah tempat hakim tersebut bertugas.
Gaji Hakim
Gaji hakim yang dimaksud di sini adalah gaji yang diberikan oleh
Negara Khilafah kepadanya dari Baitul Mal sebagai kompensasi dari tugas
yang dipikulnya. Sebagian fuqaha’ ada yang menyatakan, bahwa status gaji
yang diambil oleh hakim tersebut hukumnya makruh, kecuali jika dia
membutuhkan. Sebagian pengikut mazhab Syafi’i dan al-Maziri dari mazhab
Maliki menyatakan, bahwa orang yang diangkat menjadi hakim dan tidak
membutuhkan gajinya, maka dia tidak berhak mengambil sedikit pun dari
Baitul Mal sebagai kompensasi dari tugasnya. Namun, jika dia
membutuhkan, maka hukumnya mubah.
Ibn Qudamah dari mazhab Hanbali, setelah mengutip pendapat sejumlah
fuqaha’ dalam masalah ini berkomentar, “Yang benar adalah boleh
mengambil gaji sebagai kompensasi atas pekerjaan hakim – dalam kondisi
apapun. Sebab, Abu Bakar radhiya-Llahu ‘anhu ketika diangkat menjadi
khalifah, maka para sahabat menetapkan kompensasi untuk beliau sebesar
dua dirham setiap hari. ‘Umar radhiya-Llahu ‘anhu juga memberikan
kompensasi kepada Zaid, Syuraih dan Ibn Mas’ud, serta menginstruksikan
kompensasi tersebut untuk orang yang menjalankan peradilan. Selain
karena masyarakat membutuhkannya. Jika itu tidak boleh, maka hak-haknya
akan terabaikan.” (Lihat, Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/38)
Bahkan ‘Umar bin al-Khatthab pernah menulis surat kepada Mu’adz bin
Jabal dan Abu ‘Ubaidah al-Jarrah ketika keduanya dikirim ke Syam, yang
isinya, “Perhatikanlah orang-orang shalih di antara kalian, lalu
angkatlah mereka menjadi hakim, kemudian lapangkanlah urusan mereka,
serta berikanlah kompensasi kepada mereka dan cukupilah kebutuhan mereka
dengan harta Allah.” (Lihat, Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/38;
ad-Dasuqi, Hasyiyah ad-Dasyuqi, Juz IV/138)
Dari sini bisa dipahami, bahwa seorang hakim berhak menerima gaji
dari negara, dan gajinya pun tidak hanya sekedar pas-pasan, tetapi bisa
dipatok dengan jumlah yang tinggi hingga kebutuhannya terpenuhi, dan dia
pun tidak perlu mempunyai bisnis sampingan. Inilah kebijakan yang
dijalankan oleh ‘Umar.
0 komentar:
Post a Comment