Kemerdekaan
selalu kita rayakan pada tanggal 17 Agustus setiap tahunnya. Pada momen itulah
kita mengklaim diri kita telah terbebas dari segala bentuk penjajahan. Kemudian
pada hari itu pula kita mengadakan berbagai perayaan yang gegap-gempita. Ada
berbagai lomba yang meriah, dan ada panggung hiburan yang wah. Sayangnya, istilah kemerdekaan kemudian menjadi istilah yang
menipu, sebab sesungguhnya kita tidak benar-benar merdeka. Kita hanya merayakan
kemerdekaan karena sudah tidak ada lagi orang-orang berkulit pucat dan berambut
pirang yang menodongkan moncong senapan ke kepala kita. Padahal sesungguhnya,
kini para penjajah itu tidak perlu lagi susah-susah menodongkan senjata ke
kepala kita, justru kita sendiri yang membiarkan mereka mengeruk seluruh harta
kekayaan negeri kita, tanpa kita berbuat apa-apa. Penjajahan yang kita alami
sekarang ternyata jauh lebih parah, sebab sekarang kita tidak menyadari bahwa
kita sedang dijajah.
Mungkin
kesadaran akan kemerdekaan itulah yang mendorong warga Dusun Padas Pecah, Desa
Pakis Kembar, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, kompak mengibarkan bendera
dari karung beras bekas sebagai ganti Sang Saka Merah Putih pada hari
kemerdekaan. Mereka kecewa pada pemerintah yang telah gagal mewujudkan
kesejahteraan kepada rakyat, dan mereka merasa belum merdeka. Apa yang terjadi
di Kabupaten Malang tersebut bisa kita nilai sebagai ungkapan hati nurani
rakyat yang paling dalam. Rakyat tidak pernah meminta hidup bermewah-mewahan
seperti para pejabat, mereka hanya minta hidup sejahtera saja. Apakah sebegitu
sulitnya mewujudkan kesejahteraan itu padahal sudah 67 tahun lamanya Indonesia
merdeka? Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang kala itu memimpin sebuah negara yang
amat luas mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya hanya dalam waktu
sekitar 3 tahun, hingga tak ada lagi rakyatnya yang mau menerima zakat karena
sudah merasa sejahtera.
Imperialisme
(penjajahan) yang kita hadapi saat ini bukanlah imperialisme kuno, dimana para
penjajah mesti datang ke negeri kita dengan membawa pasukan perang kemudian
menindas kita. Saat ini para penjajah menggunakan neo-imperialisme, dimana
mereka tidak perlu susah-susah datang ke negeri kita dengan membawa pasukan
perang, cukup tanamkan saja anak-anak negeri ini yang telah loyal kepada mereka
untuk menjadi pemimpin negeri ini, kemudian merekalah yang akan membuat
peraturan perundangan yang memungkinkan para penjajah mengeruk segala kekayaan
negeri kita. Dan seperti itulah yang terjadi di negeri ini.
Lihat
saja, sebagian besar sumber daya alam negeri ini tidak kita miliki, tetapi
dimiliki oleh perusahaan-perusahaan multinasional seperti Freeport McMoran,
Shell, Chevron, Newmont, dll. Perusahaan-perusahaan multinasional itu bisa
beroperasi di negeri ini karena dilindungi oleh undang-undang yang dibuat oleh
para penguasa yang membebek kepada negara-negara adidaya itu. Adanya UU Migas,
UU Penanaman Modal, dan berbagai UU yang berbau neoliberal lainnya menjadi
bukti yang sangat kuat bahwa negara ini sedang digadaikan kepada para penjajah.
Yang kemudian menjadi korban adalah rakyat. Merekalah yang menjadi pemilik sah
dari semua sumber daya alam itu, namun mereka tidak bisa menikmatinya.
Islam mengajarkan bahwa sumber daya alam yang besar
depositnya adalah milik rakyat, dan negara diwajibkan untuk mengelolanya dengan
amanah, kemudian hasilnya diserahkan kembali kepada rakyat berupa berbagai
pelayanan sosial dan fasilitas yang memuaskan. Islam mengharamkan sumber daya
alam diserahkan kepada asing.[@sayfmuhammadisa]
0 komentar:
Post a Comment